SREK...SREK...
Suara gesekan sapu lidi yang terus
mondar-mandir di jalan berlapiskan aspal.
“Pak...! masih lama yah nyapunya?,”
tanya Agis, seorang anak kecil berusia empat tahun yang masih amat polos.
“Sebentar lagi nak, kalo kamu capek udah
sana pulang duluan,” jawab bapaknya.
“Bapak nanti sendirian pas nyebrang,
trus ketabrak motor lagi kaya dulu, kaki bapak kan masih sakit...” ujar Agis.
“Ehehe...anak bapak udah gede ternyata,
udah mau nyebrangin bapak, yuk pulang! Bapak udah beres nih”.
“Horee!! Ayu...k”.
Dalam perjalan pulang Agis terus saja
larak-lirik kearah mobil dan motor yang terus melewatinya, seakan-akan ia ingin
memilikinya, bapaknya sadar akan hal itu, ia tersenyum simpul dan menegur anak
semata wayangnya.
“Agis...!!!”.
Agis pun menoleh sembari tersenyum lebar
dengan menunjukkan gigi ompongnya.
“Motor itu bagus yah, Gis?! Apalagi
mobil, udah jalannya cepet, keren lagi”.
Mendengar pernyataan bapaknya, spontan dada
Agis menjadi menggebu-gebu, apalagi saat ia menjawab.
“Iya pak! Kemaren Agis dibonceng sama
kakak pengajar di sekolah, motornya cepet banget pak, Agis kayak lagi terbang,”
cerita Agis.
“Wah pasti seru tuh, tapi..., bapak
lebih suka gerobak bapak sih, ayo coba tebak kenapa?!”.
Agis menggelengkan kepala, menyerah
dengan pertanyaan bapaknya.
“Coba deh liat, motor ama mobil itu
ngeluarin asep yang jahat, namanya polusi, polusi itu bisa bikin kamu batuk-batuk,
dan sangat tidak baik untuk kesehatan, apa Agis masih tetap kepingin punya
motor...?!”.
“Hmmm..., enggak kok, Agis kan pengen
pake gerobak bapak aja, gak mau pake motor”.
Bapaknya tersenyum pada Agis sembari mengusap
ubun-ubun kepalanya.
***
Mengobrol membuat perjalanan pulang
mereka menjadi tak terasa, Agis langsung turun dari gerobak sampah bapaknya dan
bergegas masuk ke dalam rumah yang berukuran kecil itu. Namun, walau rumah
petak itu kecil, kumuh, berdinding triplek dan hanya beralaskan pluran semen,
Agis dan bapak tetap bahagia tinggal di dalamnya. Tanpa disuruh lagi, Agis
langsung mengambil handuk dan segera mandi, Agis memang anak yang polos namun,
pemikirannya cukup dewasa untuk anak seusia dirinya.
Setelah membersihkan badan, Agis duduk
bersebelahan dengan bapaknya sembari menonton televisi 12 inci yang sudah amat
usang. Ia perhatikan bapaknya yang terus saja mengganti channel televisi untuk mencari acara hiburan yang tidak ia temukan
karena semua channel sedang
menayangkan pidato Presiden tentang kenaikan BBM.
“Bapak nyari acara apa sih, pak!” tanya
Agis.
“Bapak juga bingung nih, semua tayangin
pidato Presiden...”.
“Berarti Presiden itu hebat yah, pak!
Bisa ngerubah acara tivi, emang Presiden itu apa sih, pak?” dengan polos.
“Presiden itu kepala negara ”.
“Emang negara ada kepalanya yah...??!”
tanyanya.
“Bukan kepala yang ada matanya, Gis...!
tapi maksudnya dia itu seorang pemimpin yang memimpin negaranya...,” jelas
bapak.
“Presiden
itu pekerjaan mulia bukan?” tanya Agis.
Bapaknya mengangguk pasti sembari
melempar senyum simpulnya ke arah Agis yang sedang memasang wajah bingung.
“Ya begitulah, karena dia bekerja untuk
negaranya”.
“Kalo gitu Agis pengen jadi
Presiden...!!!”.
“Wah hebat itu cita-cita kamu...”.
“Bapak kenapa gak jadi Presiden aja? Kan
enak, pak...,” berkata Agis.
”Soalnya bapak pengen kerjaan yang lebih
mulia dari Presiden, jadi tukang sapu jalanan,” dengan pasti.
“Kenapa disebut lebih mulia?” Agis
kebingungan.
“Tukang sapu itu sangat berjasa, karena
sudah membersihkan lingkungan negara dari sampah-sampah yang kotor, coba kalo
gak ada tukang sapu pasti negara ini bakal kotor, di mana-mana banyak kumannya,
orang Indonesia bakal sakit-sakitan, trus nanti kita dibilang negara yang
jorok, hayo gimana kalo begitu...?!” jelas bapak.
“Ikh serem yah pak, berarti Agis harus
jadi Presiden yang beda, Presiden Tukang Sapu...!!!” berkata Agis dengan
bangga.
“Hahaha...ada-ada aja kamu ini, Gis!!”
bapaknya menjadi geli.
***
Paginya seperti biasa Agis rapi-rapi
untuk pergi ke sekolah, sebenarnya usia empat tahun mungkin terlalu muda untuk
mengikuti pelajaran atau bersekolah namun, Agis tetap ngotot pada bapaknya
kalau ia ingin mengikuti pelajaran di sekolah gratis yang dikelola oleh para
pengajar relawan dari kalangan mahasiswa. Hingga akhirnya bapak Agis menyerah
dan memperbolehkan Agis bersekolah di sana.
Setibanya di kelas, dengan semangat Agis
duduk rapi menunggu kedatangan kakak pengajarnya.
“Selamat pagi semua...,” salam kak Resti
salah satu mahasiswi pengajar relawan di sana.
“Pagi kak...!!!” jawab anak muridnya.
“Kemarin kita sudah belajar tentang cara
membaca dan menulis, nah sekarang kakak mau tahu nih, kepintaran kalian dalam
menulis, jadi hari ini materi kalian adalah mengarang...,” tutur kak Resti.
“Mengarang tentang apa kak?!” tanya Ody
anak yang duduk di sebelah Agis.
“Hari ini kita akan mengarang tentang
cita-cita, jadi tulis dan ceritakan cita-cita kalian di kertas yang telah kakak
bagikan, mengerti semuanya?!” tanya kak Resti.
“Mengerti kak...!!!” jawab para murid.
Semua murid mulai menulis cita-cita
mereka begitupun dengan Agis dan Ody. Dan 40 menit kemudian mereka pun selesai
mengarang dan mengumpulkannya di atas meja kak Resti.
“Baik..., semua sudah di kumpulkan,
skarang ayo siapa yang mau berbagi cerita di depan kelas tentang
cita-citanya?!” lalu Ody mengangkat tangannya. “Baik Ody,” sambung kak Resti.
Ody pun berjalan ke depan kelas, dan dengan
antusias ia bercerita tentang cita-citanya yang ingin menjadi astronot itu,
semua teman-temannya mendengarkan dengan serius. Melihat antusiasme dari
teman-temannya saat mendengar cerita Ody, Agis pun tak mau kalah, setelah Ody
duduk kembali, dengan semangat Agis mengangkat tangannya untuk maju.
“Okey Ody, cita-cita yang sangat hebat,
dan ouw kayaknya ada yang angkat tangan nih sebelum kakak suruh, okey Agis ayo
maju ke depan...!!!” suruh kak Resti.
Dengan semangat Agis berjalan ke depan
kelas walau jantungnya terus saja berdegup cepat. Ia lihat sekeliling temannya
yang sudah tak sabar ingin mendengar cerita Agis sehingga ruangan kelaspun
menjadi hening seketika. Ia tarik nafas dalam-dalam, mengeluarkannya secara
perlahan dan mulai bercerita.
“Cita-citaku, kalau sudah besar nanti
aku ingin jadi Presiden!!!” dengan nada pasti.
“Wah cita-cita yang hebat, ayo beri
tepuk tangan buat cita-cita Agis,” sahut kak Resti.
“Aku ingin menjadi Presiden yang pertama
di dunia, yaitu Presiden Tukang Sapu!!!” tegasnya.
“HAHAHAHA...HAHA...HAHA...!!!” semua
murid tertawa saat mendengar kata itu, bahkan murid yang paling besar di
kelaspun meledeknya.
“HAHA..., dasar anak Tukang Sapu, ampe
cita-citanya aja pengen jadi Tukang Sapu, kerenan dikit donk,” ledeknya.
“Riki...!! kamu tidak boleh menghina temanmu,
kita harus hargai cita-cita semua orang, kakak tidak suka itu,” dengan nada
kecewa.
Keadaan kelaspun menjadi hening kembali.
“Teruskan ceritamu Agis...! apa
alasannya kamu bercita-cita seperti itu?” tanya kak Resti.
“Karena Agis ingin membersihkan
sampah-sampah yang ada di Indonesia, kalo Indonesia bersih kita pasti gak
gampang sakit, semua orang jadi sehat dan gak jorok, jadi kita gak perlu ke
dokter lagi, terus Agis akan memberi gaji yang banyak kepada pak Tukang Sapu
buat beli motor biar anaknya bisa dibonceng pake motor...,” tutur Agis dengan
sedikit mencantumkan barang keinginannya.
Kak Resti pun hanya bisa tersenyum saat
mendengar perkataan yang begitu bijak dari seorang bocah lugu dan polos itu.
“Hmm sungguh cita-cita yang sangat
hebat, dipikir-pikir bagaimana kalo Agis jadi seksi kebersihan di kelas ini,
apa Agis mau?”.
“SIAP KAK...!!! Agis mau...,” sembari
memberi hormat dengan tegas tanpa ragu.
“Yang lain setuju gak?!” tanya kak
Resti.
“SETUJU...!!!” serentak para murid.
Menjadi seksi kebersihan kelas sungguh
membuat Agis merasa amat bahagia, bahkan dengan bangga ia bercerita kejadian di
kelas kepada bapaknya, dan tentu bapaknya tersenyum bangga mendengar cerita
dari anak semata wayangnya itu.
Rupanya Agis tidak main-main dengan
cita-cita dan jabatannya, kini setiap pagi ia selalu datang lebih awal agar
bisa membersihkan kelas, apa lagi ia sangat memegang nasehat bapaknya agar
tidak membuang sampah sembarangan, sehingga tiap kali jika tidak ada tempat sampah
disaat ia ingin buang sampah, dengan
kesadarannya ia memasukkan sampah itu ke dalam kantung celananya hingga saat ia
menemukan tempat sampah barulah ia membuang sampah tersebut ke tempatnya.
Bahkan ia pun tak segan menegur orang
yang membuang sampah sembarangan yang terlihat olehnya. Atau bahkan ia membuang
sampah yang ia lihat berserakan di jalan ke dalam tong sampah. Apalagi jika ada
kegiatan kerja bakti di desanya, pasti anak kecil yang semangat hanya Agis. Ia
terus bersemangat dan ceria.
Namun, suatu hari bapak Agis demam
tinggi dan bahkan sulit untuk berjalan, entah kenapa. Hal itu membuat Agis
sedih. Bapaknya pun di priksakan ke PUSKESMAS terdekat, dan setelah dipriksa
rupanya luka akibat kecelakaan beberapa bulan lalu masih parah.
“Apa setelah kecelakaan itu bapak tidak
memeriksakan diri secara rutin?” tanya pak dokter.
“Tidak pak, saya tidak punya biaya untuk
berobat, memang kenapa pak dokter?” tanya bapaknya Agis.
“Di lutut kanan bapak terdapat darah
yang menggumpal akibat benturan keras, dan darah yang menggumpal itu menjadi darah
kotor yang amat buruk sehingga membuat bapak kesulitan dalam berjalan bahkan
efeknya bisa membuat bapak demam karena rasa sakit yang tak tertahan,” tutur
pak dokter dengan jelas.
“Jadi bagaimana, dok?” tanyanya dengan
pasrah.
“Mulai sekarang bapak harus berobat
secara rutin, meminum obatnya secara teratur, dan yang paling penting banyak
beristirahat ya, pak...!!!” perintah pak dokter.
Bapak Agis hanya bisa menghela nafas
panjang, mungkin yang bisa ia lakukan untuk kesembuhannya saat ini adalah
beristirahat yang cukup, karena jangankan untuk berobat rutin, untuk menebus
obatnya saat ini saja ia tidak bisa.
***
“Bapak hari ini gak kerja ya, pak...!”
tanya Agis, sedikit bingung melihat bapaknya yang masih saja duduk santai di
teras, padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi.
“Bapak lagi libur, Gis...”.
“Kaki bapak masih sakit ya? Jadi bapak
gak kerja...,” tanya Agis.
Bapaknya mengangguk perlahan, sembari
tersenyum masam.
“Sudah sana lebih baik Agis pergi ke
kelas, nanti telat lagi...”.
“Baik pak! Assalamu’alaikum...,” pamit
Agis.
“Wa’alaikumussalam...”.
Agis pun pergi sekolah, tapi kali ini
Agis merasa aneh dengan keadaan sekitarnya banyak sampah berserakan. Ia punguti
satu persatu sampah yang sekiranya masih bisa ia pungut. Lalu, memasukkannya ke
dalam tong sampah. Dalam hati ia bergumam “Hmm pasti ini karena bapak gak bisa
kerja jadi banyak sampah, kasian bapak jadi gak bisa nyapu jalanan lagi...”.
Di kelas Agis terus termenung memikirkan
tentang sampah yang berserakan itu, ia berpikir kalau bapaknya tidak bisa
bekerja dalam waktu yang cukup lama maka pasti jalanan akan dipenuhi dengan
sampah, hingga akhirnya ia mendapat ide cemerlang dari permasalahannya
tersebut.
Sepulangnya ia dari kelas, tanpa pamit
pada bapaknya, Agis langsung mendorong gerobak sampah bapaknya lalu membawanya
ke jalanan. Setibanya di jalanan ia langsung mengambil sapu lalu menyapu
sampah-sampah yang berserakan di mana-mana. Ia bertekad kalau bapaknya tidak
bisa menjalankan tugasnya maka ia harus membantu bapaknya dalam mengemban tugas
tersebut.
Kejadian itupun terus berlanjut tanpa
sepengetahuan bapaknya, tapi lama-kelamaan bapak Agis pun mulai curiga karena
Agis selalu pulang telat dari kelasnya apalagi gerobak sampahnya selalu
menghilang di setiap Agis tidak ada di rumah.
Lalu pada hari yang ketiganya bapak Agis
pun berniat untuk mencari dan menyusul Agis, dengan terlunta-lunta dan di bantu
dengan tongkat kayu bapak Agis pun mencarinya. Namun, Agis telah melihat
bapaknya lebih dulu, ia takut ketahuan bapaknya karena menggunakan gerobak
milik bapak tanpa seijinnya dan Agis pun berlari sembari membawa gerobaknya.
Ia terus mencari tempat sembunyi, hingga
ia memilih tong sampah dan masuk kedalamnya, sedangkan gerobaknya ia
sembunyikan di balik warteg pinggir jalan.
Dan di waktu yang bersamaan di jalan
raya terjadi razia mendadak, karena pihak kepolisian mendengar kabar akan
adanya teroris yang berniat membom Hotel berbintang disekitar tempat tersebut.
Rupanya kabar itu benar keberadaannya, ada
dua orang lelaki yang menggunakan baju hitam dan celana levis membawa sebuah
bungkusan mencurigakan yang mereka bawa dengan mengendarai motor. Bahkan mereka
ada di salah satu para korban razia.
Mereka berdua panik bukan main, wajah
mereka tampak pucat dan bahkan tubuhnya mulai gemetaran lalu, secara diam-diam
salah satu dari teroris tersebut pergi
dengan membawa bungkusan itu dan membuangnya ke tong sampah agar barang bukti
hilang. Setelah itu ia kembali dan mengikuti pemeriksaan bergilir dari
kepolisian, hingga mereka pun lolos dari pemeriksaan.
Sedangkan di dalam tong sampah, Agis
yang tadinya khawatir ketahuan bapak kini malah bergegas pulang karena ia
mendapatkan bungkusan aneh dari seseorang yang membuang benda tersebut ke dalam
tong sampah tempat Agis bersembunyi.
“Pak..., pak!! Agis nemu barang aneh
pak!!” teriak Agis sembari berlari-lari kesusahan karena mendorong gerobak bapaknya yang jelas-jelas
berat itu.
“Oh jadi selama ini Agis yang maenin
gerobak bapak, ketahuan kamu...,” sahut bapak.
“Hehe maaf pak...! Agis gak ngerusak kok
cuma pinjem sebentar..., pak Agis nemu jam antik di tong sampah!!” dengan nada
berbisik.
Bungkusan hitam itupun disodorkan kepada
bapaknya, dan seketika itu pula bapak Agis terbelalak ketika melihat isi
bungkusan itu, reflek dia pun mengucap kalimat istighfar.
“Astagfirullahal’adzim! Agis kamu dapet
dari mana ini?!” dengan kaget.
“Dari tong sampah pak, lucu ya pak
jamnya...,” dengan polos.
“Ayo kita ke kantor polisi sekarang!!”
ajak bapaknya dengan sedikit gemetar dan ketakutan.
Agis menjadi bingung dan ketakutan, ia
takut masuk penjara karena telah mengambil barang yang bukan milikinya, sungguh
pemikiran yang masih amat polos. Ia menggenggam tangan bapaknya, erat.
“Pak, maafin Agis, Agis gak mau ke
penjara...,” pinta Agis.
“Enggak Gis..., kamu kan gak salah...”.
Agis jadi semakin bingung, lalu untuk
apa bapaknya mengajak Agis ke kantor polisi, itulah pertanyaan yang terus
menggelayuti pikirannya di sepanjang jalan.
Sesampainya di kantor polisi, bapaknya
langsung memberikan barang bungkusan tersebut ke pada pihak yang berwajib.
Bapak pun mulai diinterogasi, lalu giliran Agis yang diinterogasi.
“Jadi adek nemuin ini di tong sampah?”.
“Iya pak, Agis gak mencuri kok pak...,”
dengan takut.
“Tenang saja dek, kami hanya ingin tahu
lebih jelas kapan dan dimana adek menemukan bom ini, juga sekaligus berterima
kasih karena telah membantu kepolisian”.
“Waaah jadi itu yang namanya bom yah pak
keren..., Agis kira itu jam mahal trus Agis bakal di penjara karena ngambil jam
mahal, Agis jadi lega sekarang,” sedikit tenang.
Agis pun sudah bisa tersenyum lega
sekarang.
Kabar penemuan bom yang ditemukan oleh
bocah kecil itupun langsung tersebar, dalam hitungan menit kantor polisi itu
kini ramai oleh para wartawan dari berbagai media masa juga masyarakat yang
berbondong-bondong ingin melihat siapa yang menemukan bom tersebut sedangkan
ditempat lain...
“Pemirsa, kini kepolisian bisa bernafas
lega karena ancaman bom yang diduga akan terjadi di sebuah Hotel berbintang di
Jakarta kini dapat di batalkan, karena bom tersebut sudah ditemukan oleh Agis,
seorang pahlawan kecil kita yang baru berusia 4 tahun tersebut, mari kita dengar
penuturan lebih lanjut dari pihak kepolisian” tutur seorang pembawa berita di
televisi yang sedang disaksikan oleh para pemilik bom tersebut.
“BODOH...!! BODOH KALIAN SEMUA...!!”
bentak salah satu teman mereka.
“Masa ngelakuin hal segampang itu aja
harus kalah sama anak kecil,” sambung teman yang satunya.
“Aduh sorry deh, gue kan kepepet
kemaren, ” sembari menghela nafas dalam.
Mereka pun merasa amat kecewa, kini
kerugian mereka berlipat, rugi karena rencananya gagal juga rugi karena
sekarang mereka dalam posisi yang tidak aman karena menjadi buronan polisi.
***
Kabar berita tentang pahlawan kecil
itupun menyebar luas hingga terdengar ke telinga Presiden, bahkan pak Presiden
ingin mengadakan sebuah pertemuan pada Agis dan bapaknya sebagai sebuah tanda
penghargaan kepada Agis si pahlawan kecil itu, acara pertemuan itupun berlangsung selang 3 hari setelah kejadian penemuan bom itu
terjadi.
Acara yang sederhana itu diadakan di
sebuah tempat kumuh, sebuah tempat dimana Agis biasa belajar, tahu akan
kedatangan pak Presiden, para murid kelas gratis tersebut langsung membersihkan
dan merapikan kelas mereka juga tentunya di bantu oleh para kakak pengajar
mereka.
Tak lama kemudian suara ramai para
masyarakat yang menyambut kedatangan Presiden pun terdengar, seluruh murid
kelas gratis juga para pengajarnya menjadi gugup apalagi Agis dan bapaknya yang
juga gugup hingga mengeluarkan keringat dingin.
Lalu, saat pak Presiden itu memasuki
kelas, semua murid membuka jalan untuk pak Presiden, Agis terus saja
memperhatikan kedatangan tamu impiannya tersebut bahkan pada saat ia melihat
sebuah bungkus permen dan sampah kertas berada di lantai yang akan pak Presiden
lewati, dengan sigap ia langsung mengambil sampah itu dan memasukkannya ke
dalam kantong bajunya. Rupanya pak Presiden memperhatikan namun, ia
berpura-pura tidak tahu. Dan acarapun dimulai.
Acara demi acara untuk penyambutan
Presiden pun berlangsung lancar, kini saatnya pemberian penghargaan berupa uang
tunai untuk bapaknya juga beasiswa sekolah untuk Agis. Keduanya bersalaman dan
berfoto bersama saat penerimaan penghargaan tersebut hingga acarapun selesai. Namun,
tiba-tiba saja Agis mengambil microfone
dan berkata dengan polos.
“Assalamu’alaikum warohmatullahi
wabarakaatuh..., ” salam Agis. Seketika itu pula semua hadirin termasuk juga
Presiden menoleh pada arah suara itu.
“Berdirinya Agis di sini, ingin
mengucapkan terima kasih banyak buat pak Presiden yang baik, yang udah ngasih
beasiswa buat Agis juga uang buat bapak, soalnya bapak emang lagi butuh uang
buat berobat kakinya yang sakit, jadi kalau kaki bapak sembuh nanti bapak bisa
nyapu lagi dan bisa melaksanakan tugas mulia bapak, trus kata bapak kalau kita
di beri sesuatu oleh orang lain kita harus bilang terima kasih, jadi Agis mau
bilang terima kasih pak Presiden...!!!” tutur Agis.
Pidato polos tentang rasa terima kasih
itu ternyata mendapat respon yang cukup besar sehingga membuat para hadirin pun
bertepuk tangan untuknya. Dan bahkan membuat pak Presiden dapat tersenyum
simpul padanya.
Agis dan bapaknya mengantarkan pak
Presiden menuju mobilnya sembari berbincang-bincang.
“Wah bapak pasti bangga yah mempunyai anak
yang hebat seperti Agis,”.
“Alhamdulillah pak, apalagi karena dia
saya dapat bertemu bapak, sungguh saya merasa sangat terhormat bisa di datangi
oleh sang Presiden,” tutur bapak Agis dengan mata berbinat-binar.
“Ah bapak ini terlalu berelebihan.
Agis...! sekolah yang rajin yah,” perintah pak Presiden pada Agis.
“Siap pak Presiden, Agis akan belajar
dengan rajin,” berkata Agis sembari memberi hormat.
“Oh yah kalau boleh tahu, apa tadi yang
kamu kantongi dari lantai?”.
“Yah Agis ketahuan deh, hehehe..., tadi
Agis ngambil sampah di lantai trus Agis kantongin deh, nanti kalo Agis nemu
tong sampah, Agis buang kok..., ” jawab Agis.
“Wah hebat itu, berarti kamu cinta
kebersihan,” puji pak Presiden.
“Iya donk, Agis kan harus bisa menjadi
contoh yang baik buat teman-teman Agis, soalnya Agis kan seorang Presiden Tukang Sapu”.
“Presiden Tukang Sapu?” Presiden pun bertambah
bingung.
“Iya, Agis itu Presiden Tukang Sapu,
seorang Presiden yang tugasnya lebih mulia dari bapak Presiden biasa soalnya
dia itu akan selalu mengurus kebersihan di negaranya,” tutur Agis dengan
bangga.
“Aduh maaf banget yah pak Presiden,
maklumi anak saya masih polos,” sambung bapak Agis merasa tidak enak. Namun,
Presiden tidak menghiraukan permohonan maaf bapak Agis, akan tetapi ia langsung
mengelus ubun-ubun kepala Agis sembari berkata...
“Hmm..., ini nih yang pantas disebut
sebagai penerus bangsa, tetap seperti ini yah nak!” sembari tersenyum kagum.
“Siap pak Presiden!!”
“Baiklah saya pamit ya pak, Gis, senang
bertemu dengan kalian,” pamir Presiden sembari masuk ke dalam mobil.
***
Bahagianya Agis sekarang ia bisa
bersekolah di sekolah yang lebih baik, dan semangat belajarnya semakin
bertambah, sedangkan kini bapaknya bisa melakukan pengobatan teratur dengan
biaya yang ia dapat dari hadiah penghargaannya.
Kejadian ini bukan hanya memberi kesan
posotif pada Agis dan bapaknya, sekarang pak Presiden pun lebih memperhatikan
kebersihan negaranya karena termotivasi dari kata yang keluar dari mulut bocah
polos itu.
Bahkan pada saat ia ingin membuang
sampah tissue bekas keringat lewat
jendela mobilnya, tiba-tiba saja ia teringat kata-kata dan semangat Agis untuk
memelihara kebersihan. Tanpa sadar pak Presiden itupun tersenyum mengingatnya
lalu, menarik kembali tangan yang sudah bersiap membuang tissue itu dan mengantongi tissue
tersebut ke dalam kantong jasnya.
Dia pun rebahan di bangku mobil dan
bergumam dalam hati “Sungguh bocah yang membuatku tidak habis pikir dan selalu
membuatku terus mengingat perkataan bijak dan polosnya, hem..., ” gumam
Presiden sembari tersenyum kagum.
***
Depok, 28 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hai! Apa katamu?