Jumat, 25 Mei 2012

CerpenKu: Agis si Presiden Tukang Sapu


SREK...SREK...
Suara gesekan sapu lidi yang terus mondar-mandir di jalan berlapiskan aspal.
“Pak...! masih lama yah nyapunya?,” tanya Agis, seorang anak kecil berusia empat tahun yang masih amat polos.
“Sebentar lagi nak, kalo kamu capek udah sana pulang duluan,” jawab bapaknya.
“Bapak nanti sendirian pas nyebrang, trus ketabrak motor lagi kaya dulu, kaki bapak kan masih sakit...” ujar Agis.
“Ehehe...anak bapak udah gede ternyata, udah mau nyebrangin bapak, yuk pulang! Bapak udah beres nih”.
“Horee!! Ayu...k”.
Dalam perjalan pulang Agis terus saja larak-lirik kearah mobil dan motor yang terus melewatinya, seakan-akan ia ingin memilikinya, bapaknya sadar akan hal itu, ia tersenyum simpul dan menegur anak semata wayangnya.
“Agis...!!!”.
Agis pun menoleh sembari tersenyum lebar dengan menunjukkan gigi ompongnya.
“Motor itu bagus yah, Gis?! Apalagi mobil, udah jalannya cepet, keren lagi”.
Mendengar pernyataan bapaknya, spontan dada Agis menjadi menggebu-gebu, apalagi saat ia menjawab.
“Iya pak! Kemaren Agis dibonceng sama kakak pengajar di sekolah, motornya cepet banget pak, Agis kayak lagi terbang,” cerita Agis.
“Wah pasti seru tuh, tapi..., bapak lebih suka gerobak bapak sih, ayo coba tebak kenapa?!”.

Agis menggelengkan kepala, menyerah dengan pertanyaan bapaknya.
“Coba deh liat, motor ama mobil itu ngeluarin asep yang jahat, namanya polusi, polusi itu bisa bikin kamu batuk-batuk, dan sangat tidak baik untuk kesehatan, apa Agis masih tetap kepingin punya motor...?!”.
“Hmmm..., enggak kok, Agis kan pengen pake gerobak bapak aja, gak mau pake motor”.
Bapaknya tersenyum pada Agis sembari mengusap ubun-ubun kepalanya.
***
Mengobrol membuat perjalanan pulang mereka menjadi tak terasa, Agis langsung turun dari gerobak sampah bapaknya dan bergegas masuk ke dalam rumah yang berukuran kecil itu. Namun, walau rumah petak itu kecil, kumuh, berdinding triplek dan hanya beralaskan pluran semen, Agis dan bapak tetap bahagia tinggal di dalamnya. Tanpa disuruh lagi, Agis langsung mengambil handuk dan segera mandi, Agis memang anak yang polos namun, pemikirannya cukup dewasa untuk anak seusia dirinya.
Setelah membersihkan badan, Agis duduk bersebelahan dengan bapaknya sembari menonton televisi 12 inci yang sudah amat usang. Ia perhatikan bapaknya yang terus saja mengganti channel televisi untuk mencari acara hiburan yang tidak ia temukan karena semua channel sedang menayangkan pidato Presiden tentang kenaikan BBM.
“Bapak nyari acara apa sih, pak!” tanya Agis.
“Bapak juga bingung nih, semua tayangin pidato Presiden...”.
“Berarti Presiden itu hebat yah, pak! Bisa ngerubah acara tivi, emang Presiden itu apa sih, pak?” dengan polos.
“Presiden itu kepala negara ”.
“Emang negara ada kepalanya yah...??!” tanyanya.
“Bukan kepala yang ada matanya, Gis...! tapi maksudnya dia itu seorang pemimpin yang memimpin negaranya...,” jelas bapak.
 “Presiden itu pekerjaan mulia bukan?” tanya Agis.
Bapaknya mengangguk pasti sembari melempar senyum simpulnya ke arah Agis yang sedang memasang wajah bingung.
“Ya begitulah, karena dia bekerja untuk negaranya”.
“Kalo gitu Agis pengen jadi Presiden...!!!”.
 “Wah hebat itu cita-cita kamu...”.
“Bapak kenapa gak jadi Presiden aja? Kan enak, pak...,” berkata Agis.
”Soalnya bapak pengen kerjaan yang lebih mulia dari Presiden, jadi tukang sapu jalanan,” dengan pasti.
“Kenapa disebut lebih mulia?” Agis kebingungan.
“Tukang sapu itu sangat berjasa, karena sudah membersihkan lingkungan negara dari sampah-sampah yang kotor, coba kalo gak ada tukang sapu pasti negara ini bakal kotor, di mana-mana banyak kumannya, orang Indonesia bakal sakit-sakitan, trus nanti kita dibilang negara yang jorok, hayo gimana kalo begitu...?!” jelas bapak.
“Ikh serem yah pak, berarti Agis harus jadi Presiden yang beda, Presiden Tukang Sapu...!!!” berkata Agis dengan bangga.
“Hahaha...ada-ada aja kamu ini, Gis!!” bapaknya menjadi geli.
***
Paginya seperti biasa Agis rapi-rapi untuk pergi ke sekolah, sebenarnya usia empat tahun mungkin terlalu muda untuk mengikuti pelajaran atau bersekolah namun, Agis tetap ngotot pada bapaknya kalau ia ingin mengikuti pelajaran di sekolah gratis yang dikelola oleh para pengajar relawan dari kalangan mahasiswa. Hingga akhirnya bapak Agis menyerah dan memperbolehkan Agis bersekolah di sana.
Setibanya di kelas, dengan semangat Agis duduk rapi menunggu kedatangan kakak pengajarnya.
“Selamat pagi semua...,” salam kak Resti salah satu mahasiswi pengajar relawan di sana.
“Pagi kak...!!!” jawab anak muridnya.
“Kemarin kita sudah belajar tentang cara membaca dan menulis, nah sekarang kakak mau tahu nih, kepintaran kalian dalam menulis, jadi hari ini materi kalian adalah mengarang...,” tutur kak Resti.
“Mengarang tentang apa kak?!” tanya Ody anak yang duduk di sebelah Agis.
“Hari ini kita akan mengarang tentang cita-cita, jadi tulis dan ceritakan cita-cita kalian di kertas yang telah kakak bagikan, mengerti semuanya?!” tanya kak Resti.
“Mengerti kak...!!!” jawab para murid.
Semua murid mulai menulis cita-cita mereka begitupun dengan Agis dan Ody. Dan 40 menit kemudian mereka pun selesai mengarang dan mengumpulkannya di atas meja kak Resti.
“Baik..., semua sudah di kumpulkan, skarang ayo siapa yang mau berbagi cerita di depan kelas tentang cita-citanya?!” lalu Ody mengangkat tangannya. “Baik Ody,” sambung kak Resti.
Ody pun berjalan ke depan kelas, dan dengan antusias ia bercerita tentang cita-citanya yang ingin menjadi astronot itu, semua teman-temannya mendengarkan dengan serius. Melihat antusiasme dari teman-temannya saat mendengar cerita Ody, Agis pun tak mau kalah, setelah Ody duduk kembali, dengan semangat Agis mengangkat tangannya untuk maju.
“Okey Ody, cita-cita yang sangat hebat, dan ouw kayaknya ada yang angkat tangan nih sebelum kakak suruh, okey Agis ayo maju ke depan...!!!” suruh kak Resti.
Dengan semangat Agis berjalan ke depan kelas walau jantungnya terus saja berdegup cepat. Ia lihat sekeliling temannya yang sudah tak sabar ingin mendengar cerita Agis sehingga ruangan kelaspun menjadi hening seketika. Ia tarik nafas dalam-dalam, mengeluarkannya secara perlahan dan mulai bercerita.
“Cita-citaku, kalau sudah besar nanti aku ingin jadi Presiden!!!” dengan nada pasti.
“Wah cita-cita yang hebat, ayo beri tepuk tangan buat cita-cita Agis,” sahut kak Resti.
“Aku ingin menjadi Presiden yang pertama di dunia, yaitu Presiden Tukang Sapu!!!” tegasnya.
“HAHAHAHA...HAHA...HAHA...!!!” semua murid tertawa saat mendengar kata itu, bahkan murid yang paling besar di kelaspun meledeknya.
“HAHA..., dasar anak Tukang Sapu, ampe cita-citanya aja pengen jadi Tukang Sapu, kerenan dikit donk,” ledeknya.
“Riki...!! kamu tidak boleh menghina temanmu, kita harus hargai cita-cita semua orang, kakak tidak suka itu,” dengan nada kecewa.
Keadaan kelaspun menjadi hening kembali.
“Teruskan ceritamu Agis...! apa alasannya kamu bercita-cita seperti itu?” tanya kak Resti.
“Karena Agis ingin membersihkan sampah-sampah yang ada di Indonesia, kalo Indonesia bersih kita pasti gak gampang sakit, semua orang jadi sehat dan gak jorok, jadi kita gak perlu ke dokter lagi, terus Agis akan memberi gaji yang banyak kepada pak Tukang Sapu buat beli motor biar anaknya bisa dibonceng pake motor...,” tutur Agis dengan sedikit mencantumkan barang keinginannya.
Kak Resti pun hanya bisa tersenyum saat mendengar perkataan yang begitu bijak dari seorang bocah lugu dan polos itu.
“Hmm sungguh cita-cita yang sangat hebat, dipikir-pikir bagaimana kalo Agis jadi seksi kebersihan di kelas ini, apa Agis mau?”.
“SIAP KAK...!!! Agis mau...,” sembari memberi hormat dengan tegas tanpa ragu.
“Yang lain setuju gak?!” tanya kak Resti.
“SETUJU...!!!” serentak para murid.
Menjadi seksi kebersihan kelas sungguh membuat Agis merasa amat bahagia, bahkan dengan bangga ia bercerita kejadian di kelas kepada bapaknya, dan tentu bapaknya tersenyum bangga mendengar cerita dari anak semata wayangnya itu.
Rupanya Agis tidak main-main dengan cita-cita dan jabatannya, kini setiap pagi ia selalu datang lebih awal agar bisa membersihkan kelas, apa lagi ia sangat memegang nasehat bapaknya agar tidak membuang sampah sembarangan, sehingga tiap kali jika tidak ada tempat sampah disaat ia ingin buang  sampah, dengan kesadarannya ia memasukkan sampah itu ke dalam kantung celananya hingga saat ia menemukan tempat sampah barulah ia membuang sampah tersebut ke tempatnya.
Bahkan ia pun tak segan menegur orang yang membuang sampah sembarangan yang terlihat olehnya. Atau bahkan ia membuang sampah yang ia lihat berserakan di jalan ke dalam tong sampah. Apalagi jika ada kegiatan kerja bakti di desanya, pasti anak kecil yang semangat hanya Agis. Ia terus bersemangat dan ceria.
Namun, suatu hari bapak Agis demam tinggi dan bahkan sulit untuk berjalan, entah kenapa. Hal itu membuat Agis sedih. Bapaknya pun di priksakan ke PUSKESMAS terdekat, dan setelah dipriksa rupanya luka akibat kecelakaan beberapa bulan lalu masih parah.
“Apa setelah kecelakaan itu bapak tidak memeriksakan diri secara rutin?” tanya pak dokter.
“Tidak pak, saya tidak punya biaya untuk berobat, memang kenapa pak dokter?” tanya bapaknya Agis.
“Di lutut kanan bapak terdapat darah yang menggumpal akibat benturan keras, dan darah yang menggumpal itu menjadi darah kotor yang amat buruk sehingga membuat bapak kesulitan dalam berjalan bahkan efeknya bisa membuat bapak demam karena rasa sakit yang tak tertahan,” tutur pak dokter dengan jelas.
“Jadi bagaimana, dok?” tanyanya dengan pasrah.
“Mulai sekarang bapak harus berobat secara rutin, meminum obatnya secara teratur, dan yang paling penting banyak beristirahat ya, pak...!!!” perintah pak dokter.
Bapak Agis hanya bisa menghela nafas panjang, mungkin yang bisa ia lakukan untuk kesembuhannya saat ini adalah beristirahat yang cukup, karena jangankan untuk berobat rutin, untuk menebus obatnya saat ini saja ia tidak bisa.
***
“Bapak hari ini gak kerja ya, pak...!” tanya Agis, sedikit bingung melihat bapaknya yang masih saja duduk santai di teras, padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi.
“Bapak lagi libur, Gis...”.
“Kaki bapak masih sakit ya? Jadi bapak gak kerja...,” tanya Agis.
Bapaknya mengangguk perlahan, sembari tersenyum masam.
“Sudah sana lebih baik Agis pergi ke kelas, nanti telat lagi...”.
“Baik pak! Assalamu’alaikum...,” pamit Agis.
“Wa’alaikumussalam...”.
Agis pun pergi sekolah, tapi kali ini Agis merasa aneh dengan keadaan sekitarnya banyak sampah berserakan. Ia punguti satu persatu sampah yang sekiranya masih bisa ia pungut. Lalu, memasukkannya ke dalam tong sampah. Dalam hati ia bergumam “Hmm pasti ini karena bapak gak bisa kerja jadi banyak sampah, kasian bapak jadi gak bisa nyapu jalanan lagi...”.
Di kelas Agis terus termenung memikirkan tentang sampah yang berserakan itu, ia berpikir kalau bapaknya tidak bisa bekerja dalam waktu yang cukup lama maka pasti jalanan akan dipenuhi dengan sampah, hingga akhirnya ia mendapat ide cemerlang dari permasalahannya tersebut.
Sepulangnya ia dari kelas, tanpa pamit pada bapaknya, Agis langsung mendorong gerobak sampah bapaknya lalu membawanya ke jalanan. Setibanya di jalanan ia langsung mengambil sapu lalu menyapu sampah-sampah yang berserakan di mana-mana. Ia bertekad kalau bapaknya tidak bisa menjalankan tugasnya maka ia harus membantu bapaknya dalam mengemban tugas tersebut.
Kejadian itupun terus berlanjut tanpa sepengetahuan bapaknya, tapi lama-kelamaan bapak Agis pun mulai curiga karena Agis selalu pulang telat dari kelasnya apalagi gerobak sampahnya selalu menghilang di setiap Agis tidak ada di rumah.
Lalu pada hari yang ketiganya bapak Agis pun berniat untuk mencari dan menyusul Agis, dengan terlunta-lunta dan di bantu dengan tongkat kayu bapak Agis pun mencarinya. Namun, Agis telah melihat bapaknya lebih dulu, ia takut ketahuan bapaknya karena menggunakan gerobak milik bapak tanpa seijinnya dan Agis pun berlari sembari membawa gerobaknya.
Ia terus mencari tempat sembunyi, hingga ia memilih tong sampah dan masuk kedalamnya, sedangkan gerobaknya ia sembunyikan di balik warteg pinggir jalan.
Dan di waktu yang bersamaan di jalan raya terjadi razia mendadak, karena pihak kepolisian mendengar kabar akan adanya teroris yang berniat membom Hotel berbintang disekitar tempat tersebut.
Rupanya kabar itu benar keberadaannya, ada dua orang lelaki yang menggunakan baju hitam dan celana levis membawa sebuah bungkusan mencurigakan yang mereka bawa dengan mengendarai motor. Bahkan mereka ada di salah satu para korban razia.
Mereka berdua panik bukan main, wajah mereka tampak pucat dan bahkan tubuhnya mulai gemetaran lalu, secara diam-diam salah satu dari teroris tersebut  pergi dengan membawa bungkusan itu dan membuangnya ke tong sampah agar barang bukti hilang. Setelah itu ia kembali dan mengikuti pemeriksaan bergilir dari kepolisian, hingga mereka pun lolos dari pemeriksaan.
Sedangkan di dalam tong sampah, Agis yang tadinya khawatir ketahuan bapak kini malah bergegas pulang karena ia mendapatkan bungkusan aneh dari seseorang yang membuang benda tersebut ke dalam tong sampah tempat Agis bersembunyi.
“Pak..., pak!! Agis nemu barang aneh pak!!” teriak Agis sembari berlari-lari kesusahan karena  mendorong gerobak bapaknya yang jelas-jelas berat itu.
“Oh jadi selama ini Agis yang maenin gerobak bapak, ketahuan kamu...,” sahut bapak.
“Hehe maaf pak...! Agis gak ngerusak kok cuma pinjem sebentar..., pak Agis nemu jam antik di tong sampah!!” dengan nada berbisik.
Bungkusan hitam itupun disodorkan kepada bapaknya, dan seketika itu pula bapak Agis terbelalak ketika melihat isi bungkusan itu, reflek dia pun mengucap kalimat istighfar.
“Astagfirullahal’adzim! Agis kamu dapet dari mana ini?!” dengan kaget.
“Dari tong sampah pak, lucu ya pak jamnya...,” dengan polos.
“Ayo kita ke kantor polisi sekarang!!” ajak bapaknya dengan sedikit gemetar dan ketakutan.
Agis menjadi bingung dan ketakutan, ia takut masuk penjara karena telah mengambil barang yang bukan milikinya, sungguh pemikiran yang masih amat polos. Ia menggenggam tangan bapaknya, erat.
“Pak, maafin Agis, Agis gak mau ke penjara...,” pinta Agis.
“Enggak Gis..., kamu kan gak salah...”.
Agis jadi semakin bingung, lalu untuk apa bapaknya mengajak Agis ke kantor polisi, itulah pertanyaan yang terus menggelayuti pikirannya di sepanjang jalan.
Sesampainya di kantor polisi, bapaknya langsung memberikan barang bungkusan tersebut ke pada pihak yang berwajib. Bapak pun mulai diinterogasi, lalu giliran Agis yang diinterogasi.
“Jadi adek nemuin ini di tong sampah?”.
“Iya pak, Agis gak mencuri kok pak...,” dengan takut.
“Tenang saja dek, kami hanya ingin tahu lebih jelas kapan dan dimana adek menemukan bom ini, juga sekaligus berterima kasih karena telah membantu kepolisian”.
“Waaah jadi itu yang namanya bom yah pak keren..., Agis kira itu jam mahal trus Agis bakal di penjara karena ngambil jam mahal, Agis jadi lega sekarang,” sedikit tenang.
Agis pun sudah bisa tersenyum lega sekarang.
Kabar penemuan bom yang ditemukan oleh bocah kecil itupun langsung tersebar, dalam hitungan menit kantor polisi itu kini ramai oleh para wartawan dari berbagai media masa juga masyarakat yang berbondong-bondong ingin melihat siapa yang menemukan bom tersebut sedangkan ditempat lain...
“Pemirsa, kini kepolisian bisa bernafas lega karena ancaman bom yang diduga akan terjadi di sebuah Hotel berbintang di Jakarta kini dapat di batalkan, karena bom tersebut sudah ditemukan oleh Agis, seorang pahlawan kecil kita yang baru berusia 4 tahun tersebut, mari kita dengar penuturan lebih lanjut dari pihak kepolisian” tutur seorang pembawa berita di televisi yang sedang disaksikan oleh para pemilik bom tersebut.
“BODOH...!! BODOH KALIAN SEMUA...!!” bentak salah satu teman mereka.
“Masa ngelakuin hal segampang itu aja harus kalah sama anak kecil,” sambung teman yang satunya.
“Aduh sorry deh, gue kan kepepet kemaren, ” sembari menghela nafas dalam.
Mereka pun merasa amat kecewa, kini kerugian mereka berlipat, rugi karena rencananya gagal juga rugi karena sekarang mereka dalam posisi yang tidak aman karena menjadi buronan polisi.
***
Kabar berita tentang pahlawan kecil itupun menyebar luas hingga terdengar ke telinga Presiden, bahkan pak Presiden ingin mengadakan sebuah pertemuan pada Agis dan bapaknya sebagai sebuah tanda penghargaan kepada Agis si pahlawan kecil itu,  acara pertemuan itupun berlangsung selang  3 hari setelah kejadian penemuan bom itu terjadi.
Acara yang sederhana itu diadakan di sebuah tempat kumuh, sebuah tempat dimana Agis biasa belajar, tahu akan kedatangan pak Presiden, para murid kelas gratis tersebut langsung membersihkan dan merapikan kelas mereka juga tentunya di bantu oleh para kakak pengajar mereka.
Tak lama kemudian suara ramai para masyarakat yang menyambut kedatangan Presiden pun terdengar, seluruh murid kelas gratis juga para pengajarnya menjadi gugup apalagi Agis dan bapaknya yang juga gugup hingga mengeluarkan keringat dingin.
Lalu, saat pak Presiden itu memasuki kelas, semua murid membuka jalan untuk pak Presiden, Agis terus saja memperhatikan kedatangan tamu impiannya tersebut bahkan pada saat ia melihat sebuah bungkus permen dan sampah kertas berada di lantai yang akan pak Presiden lewati, dengan sigap ia langsung mengambil sampah itu dan memasukkannya ke dalam kantong bajunya. Rupanya pak Presiden memperhatikan namun, ia berpura-pura tidak tahu. Dan acarapun dimulai.
Acara demi acara untuk penyambutan Presiden pun berlangsung lancar, kini saatnya pemberian penghargaan berupa uang tunai untuk bapaknya juga beasiswa sekolah untuk Agis. Keduanya bersalaman dan berfoto bersama saat penerimaan penghargaan tersebut hingga acarapun selesai. Namun, tiba-tiba saja Agis mengambil microfone dan berkata dengan polos.
“Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarakaatuh..., ” salam Agis. Seketika itu pula semua hadirin termasuk juga Presiden menoleh pada arah suara itu.
“Berdirinya Agis di sini, ingin mengucapkan terima kasih banyak buat pak Presiden yang baik, yang udah ngasih beasiswa buat Agis juga uang buat bapak, soalnya bapak emang lagi butuh uang buat berobat kakinya yang sakit, jadi kalau kaki bapak sembuh nanti bapak bisa nyapu lagi dan bisa melaksanakan tugas mulia bapak, trus kata bapak kalau kita di beri sesuatu oleh orang lain kita harus bilang terima kasih, jadi Agis mau bilang terima kasih pak Presiden...!!!” tutur Agis.
Pidato polos tentang rasa terima kasih itu ternyata mendapat respon yang cukup besar sehingga membuat para hadirin pun bertepuk tangan untuknya. Dan bahkan membuat pak Presiden dapat tersenyum simpul padanya.
Agis dan bapaknya mengantarkan pak Presiden menuju mobilnya sembari berbincang-bincang.
“Wah bapak pasti bangga yah mempunyai anak yang hebat seperti Agis,”.
“Alhamdulillah pak, apalagi karena dia saya dapat bertemu bapak, sungguh saya merasa sangat terhormat bisa di datangi oleh sang Presiden,” tutur bapak Agis dengan mata berbinat-binar.
“Ah bapak ini terlalu berelebihan. Agis...! sekolah yang rajin yah,” perintah pak Presiden pada Agis.
“Siap pak Presiden, Agis akan belajar dengan rajin,” berkata Agis sembari memberi hormat.
“Oh yah kalau boleh tahu, apa tadi yang kamu kantongi dari lantai?”.
“Yah Agis ketahuan deh, hehehe..., tadi Agis ngambil sampah di lantai trus Agis kantongin deh, nanti kalo Agis nemu tong sampah, Agis buang kok..., ” jawab Agis.
“Wah hebat itu, berarti kamu cinta kebersihan,” puji pak Presiden.
“Iya donk, Agis kan harus bisa menjadi contoh yang baik buat teman-teman Agis, soalnya Agis kan seorang  Presiden Tukang Sapu”.
“Presiden Tukang Sapu?” Presiden pun bertambah bingung.
“Iya, Agis itu Presiden Tukang Sapu, seorang Presiden yang tugasnya lebih mulia dari bapak Presiden biasa soalnya dia itu akan selalu mengurus kebersihan di negaranya,” tutur Agis dengan bangga.
“Aduh maaf banget yah pak Presiden, maklumi anak saya masih polos,” sambung bapak Agis merasa tidak enak. Namun, Presiden tidak menghiraukan permohonan maaf bapak Agis, akan tetapi ia langsung mengelus ubun-ubun kepala Agis sembari berkata...
“Hmm..., ini nih yang pantas disebut sebagai penerus bangsa, tetap seperti ini yah nak!” sembari tersenyum kagum.
“Siap pak Presiden!!”
“Baiklah saya pamit ya pak, Gis, senang bertemu dengan kalian,” pamir Presiden sembari masuk ke dalam mobil.
***
Bahagianya Agis sekarang ia bisa bersekolah di sekolah yang lebih baik, dan semangat belajarnya semakin bertambah, sedangkan kini bapaknya bisa melakukan pengobatan teratur dengan biaya yang ia dapat dari hadiah penghargaannya.
Kejadian ini bukan hanya memberi kesan posotif pada Agis dan bapaknya, sekarang pak Presiden pun lebih memperhatikan kebersihan negaranya karena termotivasi dari kata yang keluar dari mulut bocah polos itu.
Bahkan pada saat ia ingin membuang sampah tissue bekas keringat lewat jendela mobilnya, tiba-tiba saja ia teringat kata-kata dan semangat Agis untuk memelihara kebersihan. Tanpa sadar pak Presiden itupun tersenyum mengingatnya lalu, menarik kembali tangan yang sudah bersiap membuang tissue itu dan mengantongi tissue tersebut ke dalam kantong  jasnya.
Dia pun rebahan di bangku mobil dan bergumam dalam hati “Sungguh bocah yang membuatku tidak habis pikir dan selalu membuatku terus mengingat perkataan bijak dan polosnya, hem..., ” gumam Presiden sembari tersenyum kagum.
***


Depok, 28 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hai! Apa katamu?